BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan Islam awal di Asia Tenggara dapat diklasifikasikan
menjadi tiga Fase; pertama fase singgahnya para pedagang Muslim di
pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara. Kedua adalah adanya
komunitas-komunitas Muslim dibeberapa daerah di Nusatanra. Ketiga adalah fase berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam.
Proses islaminasasi massif di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan
dari peranan kerajaan Islam (kesultanan). Berawal ketika Raja setempat memeluk
Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan kemudian
rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peranan
penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebaga institusi-instituti Muslim
lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam
peningkatan syiar dan dakwah Islam.
Sejak kehadirannya, kesultanan islam menjadi kekuatan vital dalam
perdagangan bebas internasional. Athony Reid bahkan menyebutkan masa kesultanan
Islam Nusantara sebagai the age of commerce (masa perdagangan). Dalam
masa perdagangan bebas internasional ini, kesultanan mencapai kemakmuran yang
pada gilirannya sanga menentukan bagiperkembangan Islam secara keseluruhan di
Asia Tenggara.
Di antara kerajaan Islam yang dimaksud adalah kerajaan Samudra Pasai, kesultanan
Malaka, kesultanan Aceh Darussalam, dan Palembang. Di jawa terdapat antara lain
Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram,
Kesultanan Cirebon dan Banten. Contoh lain adalah kerajaan Ternate. Islam masuk
kekerajaan Maluku ini pada Tahu 1440 Raja seorang Muslim bernama Bayang Ullah.
Walaupun Raja sudah masuk Islam namun belum menerapakan Islam sebagai institusi
politik kesultanan Ternate baru menjadi institusi politik Islam setelah
kerajaan Ternate dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Zainal Abidin pada tahun 1486. Keraan yang
menjadi representasi Islam dimaluku
adalah Tidore dan keraan Bacan, banyak kepala-kepala suku di papua yang memeluk Islam. Institusi lainnya
di kalimantan adalah kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan,
Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai.
BAB II
Islam pada Masa Kesultanan di Asia Tenggara
A.
Kerajaan
Samutra Pasai
Aceh yang secara geografisterletak di Utara pulau Sumatra,
dipandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Konon
kerajaan islam Perlak telah berdiri sejak abad ke- 9 M. Pendapat ini yang telah
dikemukakan oleh Yusuf Jamil dan Hasyim, yang konon telah didirikan pada 225 H
/ 845 M. Pendirinya adalah pera pelaut pedagang Muslim asal Persia, Arab dan
Gujarat yang mula-mula datang untuk meng Islamkan penduduk setempat. Namun
menurut Azra sampai sst ini belum ada bukti akurat yang bisa dipegangi bahwa
pada pertengahan abad ke- 9 M telah terdapat entitas politik Muslim dikawasan
ini disebut ‘’Kesultanan Perlak’’.
Kerajaan berikutnya adalah Samutra Pasai yang merupakan kerajaan
Kembar. Kerajaan ini yang terletak di pesisir timur laut Aceh, dan diperkirakan
mulai berdiri pada awal atau pertengahan abad ke- 13 M, sebagai hasil dari
proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang
Muslim sejak abad ke- 7 dan ke- 8 M dan seterusnya. Keberadaan kerajaan ini
dibuktikan oleh adanya batu nisan tersebut dari granit asal samudra Pasai.
Dibatu nisan itu tertulis nama raja pertama kerajaan itu, Malik al-saleh, yang
meninggal pada waktu bulan Ramadhan tahun 696 H, diperkirakan bertepatan dengan
tahun 1297 M. Malin al-saleh adalah pendiri kerajaan sekaligus raja pertama
kerajaan ini. Hal ini diketahui melalui cerita lisan secara turun temurun yang
kemudian dibukukan dalam hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber
yang dilakukan sarjana-sarjan Barat.
Tidak banyak informasi dapat diperolaeh tentang kesultanan ini.
Informasi tentang kerajaan ini diperoleh dan laporan Marpocolo, seorang
pengembara yang dalam perjalanannya dari Cina ke Persia tahun 1292 M, dia
menyatakan telah mengunjungi enam dari delapan negara vasal yang ada di Sumatera. Menurutnya hanya satu diantara
delapan negara yang telah memeluk agam Islam yaitu ferlece yang kemudian
dikenal dengan Perlak,. Para pedagang Muslim telah mengislamkan masyarakat
perkotaan sementara masyarakat yang dipedalaman masih melanjutkan tradisi lama
mereka.
Informasi lainnya diperoleh dari cataatn Cina pada awal tahun 1282
yang memberikan laporan tentang adanya urusan dari Sa-mu-ta-la (Samudera) ke
kaisaran Cina dengan nama islam yaitu Sulaiman dan Husein. Interaksi antar
penduduk pribumi dengan pedagan Muslim dari Arab, Persia dan Hindia. Dalam hikayat
Rja-raja Pasai diceritakan bahwa
raja mereka merah silu adalah orang pertama yang memeluk agama Islam
dikerajaan itu.
Informasi lain tentang kesultanan ini diperoleh dari ibnu Batutah,
seorang pengembara terkenal asal Marokko, yang pada tahun 1345 M mengunjungi
Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera
Pasai diperintahkan oleh Sultan Al-Maalik Al-zahit, Putera sultan Malik
al-Saleh. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir se Abad lamanya
disiarkan disan.
Kerajaan Islam tertua ini menjadi pusat kegiatan keagamaan yang
utama dikepulauan Samudera kali ini. Disini pela peradaban dan kebudayaan Islam
tumbuh dan mekar. Pasai bukan hanya saja menjadi tumpuan perhatian para
pedagang Arab dan Parsi, tetapi juga menarik perhatian para ulama dan
cebdikiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan
menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu yang di ajarkan dilembaga-lembaga Pendidikan Islam antar
lain dasar-dasar ajaran Islam , hukum Islam, Ilmu kalam dan Teologi, Ilmu
Tasawuf , Ilmu Tafsir dan Hadits, dan barbagai ilmu agama lainnya. Seperti ilmu
Mantiq (logika), nahu (tata bahasa Arab), sejarah, anstronomi, Ilmu ketabiban.
Selain ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, kesusaatraan Arab dan
Parsi turut pula diajarkan.
Kerajaan Samudera pasai muncul seiring dengan mundurnya peranan
Maritim Kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting dii
kawasan samudera dan di sekelilingnya. Sesuai dengan posisi geografisnya,
kerajaan maritim ini lebih mengandalkan perdagangan dan pelayaran sebagai basis
perekonomiannya, karena ia tidak mempunyai basis agraris pengawasannya terhadap
perdaghangan dan pelayaran memungkinkannya untuk memiliki otoritas dalam
memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menyebutkan bahwa
setiap kapal yang membawa barang-barang dikenakan pajak sebanyak 6%.
Pada masa uang dirham dari
samudra pasai tertulis nama-nama sultan yang memerintah samudra pasai pada abad
ke 14 M dan 15 M. H.K.J Cowan adalah salah seorang yang telah melakukan
penelitian terhadap mata uang tersebut untuk mengali lebih jauh tentang
Kerajaan Samudera Pasai. Dari mata uang tersebut dapat di ketahui nama-nama
raja yang memerintah dan urutan-urutannya sebagai berikut :
1)
Sultan
Malim Al-Saleh, memerintah sampai tahun 1207 M.
2)
Muhammad
Malik Al Zahir, ( 1297-1326 M )
3)
Mahmud Malik
Al Zahir, ( 1326-1345 M. )
4)
Mansur
Malik Al Zahir, ( 1345-1346 M. )
5)
Ahmad
Malik Al Zahir, ( 1346- 1383 M. )
6)
Zainal
Abidi Malik Al Zahir, ( 1383-1405 M. )
7)
Nasrasyah,(
1402-? )
8)
Abu Zaid
Malik Al Zahir,( ?- 1455 M.)
9)
Mahmud
Malik Al Zahir,( 1455-1477 M.)
10)
Zaid Al
Abidin, ( 1477-1500 M.)
11)
Abdullah
Malim Al Zahir,( 1501- 1513 M.)
12)
Zain Al
Abidin, ( 1513-1524 M.)
B.
Kesultanan
Malaka
Kesultana malaka merupakan kerajaan islam kedua di Asia Tenggara.
Kesultana ini berdiri pada awal abad ke
15 Masehi. Kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi
pelayaran dan perdagangan dari Kerajaan Samudera Pasai yang kalah bersaing.
Sejauh menyangkut penyebaran islam di tanah Melayu, peranan Kesultana Malaka
sama sekali tidak dapat di kesampingkan dalam proses islamisasi, karena konversi
melayu terjadi terutama selama periode Kesultana Malaka pada abad ke 15 Masehi.
Pembentukan negara Malaka disinyalir ada kaitannya dengan perang
saudara di Majapahit setelah Haya Wuruk (1360-1389M) meninggal dunia. Sewaktu
perang saydara tersebut, para meswara, putra raja sriwijaya – Palembang turut
terlibat karena ia menikah dengan seorang putri Majapahit.para meswara kalah
pada perang tersebut dan melarikan diri ke Temmasik (sekarang Singapura) yang
berada dibawah pemerintah Siam saat ini. Beliau membunuh penguasa termasik,
yang bernama Temagi dan kemudian menobatkan dirinya sebagai penguasa baru.
Persoalan ini diketahui oleh kerajaan Siam dan memutuskan untuk menuntut balaas
oleh kematian Temagi. Para meswara dan para pengikutnya mengundurkan diri ke
Muar dan akhirnya sampai di Malaka lalu membuka sebuah kerajaan baru disana
pada tahun 1402 M. Menurut persi ini, kedatangan Islam ke Malaka pada tahun
1414 M, ketika para meswara menganut Islam dan menukar namanya menjadi Megat
Iskandar Syah. Pengislamannya diikuti oleh pembesar-pembesar istana dan rakyat
jelata. Dengan demikian Islam mulai tersebar di Malaka.
Para meswara atu Mega Iskandar Syah memerintah selama 20
tahun. Baginda mendapatkan Malaka
sebagai sebuah kampung dan meninggalkannya sebagai sebuah kota serta pusat
perdagangan terpenting di selat Malaka, sehingga orang-orang arab menggelarnya
sebagai malakat (penghimpunan segala perdagangan). Ketika sejarah
melayunya turut menceritakan sejarah malaka, mega Iskandar Syah, adalah
orang pertama di kesultanan itu yang memeluk agama Islam. Selanjutnya ia
memerintahkan segenap warganya baik yang berkedudukan tinggi maupun rendah
untuk menjadi muslim.
Di negara Malaka yang terkenal sebagai sebagai pusat perdaganggan
internasional, para sultan turut mendukung proses Islamisasi, dengan turu
meningkatkan pemahaman terhadap Islam dan pengalaman islam. Pemerintah
memberikan kontribusi yangg besar dalam mensukseskan kegiatan dakwa. Kaum ulama
saat itu sangat dihormati dan dihargai. Kadi dan ahli fikih mempunyyai
kedudukan yang sama dengan pembesar negara yang lain. Sebagai ilustrasi, Whid
mengemukakan contoh menarik mengenai status tunggi yang dinikmati oleh para
kadi dan sarjana muslim ini. Katanya seorang guru dari Arab, bernama Makhdum
sadr Johan, bisa menolak untuk mengajar penguasa Malaka, Sulttan Mahmud Syah,
ketika yang terakhir ini mendatangi ruang kelas nya dengan menunggang seekor
gajah. Hal yang sama juga terjadi pada menteri kepala bendahara, ketika
terakhir ini mendatangi kelasnya sambil minum. Penguasa Malaka yang lain,
Sultan Mannsur Syah, dikisahkan konon telah mencari nasihat keagamaan dari
Makhdum Patakan, sufi alim yang sangat terkenal dari Pasai. Ini menunjukkan
bahwa para ulama sangat dihormati dan dihargai.
Selain turut mendalami ajaran Islam, para sultan juga diceritakan
turut meningkatkan Syiar Islam. Sejarah melayu menceritakan bahwa dibulan
ramadhan, Sultan bersama pembesar istana turut berangkat ke Mesjid melaksanakan
shalat tarwih, dimana kala itu mesjid menjadi tumpuan umat Islam terutama pada
bulan ramadhan. Sultan Bonang dan Sunan Kalijaga, dua ulama dari jawa yang
begitu terkenal sebelumnya, menamatkan kajiannya di Malaka. Adalah melalui
kekuasaan kerajaan Malaka, Islamisasi kepulauan mendapat dorongan baru. Malaka
menjadi salah satu pusat kunci dari mana islam baerkembang dari sepanjang
pesisir ke wilayah-wilayah seperti
kepulauan Sulu di Filifina.
Dengan demikian dapat disimpulkan dimulai dari paroh abad ke- 15,
Islam telah menjadi unsur penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan Malaka,
pusat kunci dari mana islam menyebar keseluruh bagian lain Nusantara. Sebagai
pusat pengajian Islam. Langkah para sultan menitikberatkan pada pelayanan
terhadap alim ulama memungkinkan islam berkembang pesat. Sementara itu, islam
yang mempunyai dasar filosofis dan rasional yang kuat, mempengahuri berbagai
aspek kehidupan Melayu. Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Islam dan nilai
yang konsisten dengan islam, menjadi sumber penuntun hidup yang penting bagi
Melayu.
C.
Kesultanan
Aceh Darussalam
a.
Kedatangan
dan Penetrasi Islam
Aceh yang secara geografi terletak di utara Pulau Samudera,
dipandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Konon
kerajaan Islam Perlak telah berdiri sejak abad ke- 9 M. Kerajaan Islam
berikutnya adalah Samudera Pasai yang berdiri sejak akhir abad ke- 13 M.
Sementara Kesultanan Aceh Darussalam diduga berduga berdiri pada abad ke- 15 M
di atas puing-puing kerajaan Lamuri oleh Sultan dialahkota yang membangun kota Aceh mengalami kemajuan
dalam bidang perdagangan karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya
berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka
dikuasai Portugis (1511 M).
Namun demikian, H.J de Graaf dan Denys Lombard dengan mengutip Tome
Pires menyebutkan bahwa sultan pertama kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat Syah.
Tidak diketahui kapan ia naik tahta kerajaan ini. Ia digambarkan oleh Times
Pires sebagai seorang raja Muslim yang gagah perkasa yang berhasil
menggabungkan beberapa pelabuhan dagang dibawah kekuasaan. Pada masa
pemerintahannya di mughayah syah meluaskan wilayah kekuasaannya kedaerah Pidie
yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada Thun 1524 M. Dengan
kemenangannya terhadp dua kerajaan tersebu, ia dengan mudah dapat melebarkan
sayap kekuasaannya ke Sumatra Timur. Keberhasilan dalam menguasai beberapa
wilayah dan menggabungkan menjadi kesultanan Aceh Darussalam itulah menyebabkan
ia di anggap sebagai pendiri kekuasaan Aceh sesungguhnya. Ali mughayat syah
digantikan oleh anak sulungnya, Salah ad-Din (1528-1537). Ia menyerang Malaka
pada Tahun 1537, tetapi mengalami kegagalan. Salah ad-din digantikan oleh
saudaranya, Alauddin Ri’ayah Syah al-kahhar (1537-1568). Pada masa
pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan Aru dan Johor bahkan dengan bantuan
persenjatahan Dinasti Ottoman, menyerang Portugis di Malaka. Alauddin Ri’ayat
Syah digantikan Oleh Sultan Ali Ri’ayat Syah (1568-1573), kemudia Suktan Seri
Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam
(1607-1636).
Dari kesultanan ini Islam tersebar ke berbagai negeri-negeri
Melayu laiinya.terutama ketika kesultanan itu dibawah pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1608-1637). Seluruh serangan yang dilancarkan pihak Portugis
dapat ditangkis oleh Sultan-sultan Aceh. Kesultanan Aceh Darussalam didirikan
diatas dasar Islam, Islamlah yang menjadi dasar bagi adanya kekuasaan
kesultanan itu. Dengan demikian penguasa kesultanan Aceh tidaklah terjerat oleh
keharusan untuk melanjutkan sistem dan tradisi lama, melainkan mendapatkan
kesempatan untuk merumuskan tradisi baru yang relatif terlepas dari keharusan
doktrin dan kenyataan sosial yang ada sebelumya, demikianlah sementara definisi
keIslaman diteguhkan, yang ,mencapai puncaknya di abad ke- 17, pengaturan sistem
kekuasaan yang relevanpun dirintis pula.
b.
Kejayaan
Aceh dalam Bidang Ekonomi, Politik, dan Agama
Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar terbesar
di dunia pada abad ke 15 M. Pendapat senada juga dikemukakan oleh A.H. Johns
bahwa Aceh adalah negara kota Islam terpenting didunia Melayu antar abad ke- 15
dan 17 di samping Malaka. Kemajuan kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya
pada abad ke- 17. Ketika malak jatuh pada tahun 1511, daerah pengaruhnya
disumatra mulai melepaskan diri. Dibawah pimpinan Sultan Mughayat Syah
(1511-1530), Aceh mulai melebarkan kekuasaannya kedaerah sekitarnya., bahkan
kesultanan ini berhasil mengusir Portugis dar Pasai tahun 1524. Pada puncak
kemegahannya, hegemoni politik kesultanan ini mencapai pesisir barat
Minangkabau dan mencakup Pedir, Pasai, Perlak, Deli, Johor, Kedah, Pahang, dan lain-lain.
Aceh merupakan negeri yang kaya dan makmur pada masa itu. Aceh
dikenal memiliki sumber daya alam yang kaya, yang juga dikenal sebagi penghasil
kapur barus dan menyan, juga dikenal sebagai penghasil Timah dan rempah-rempah
seperti, lada dan kopi. Aceh juga menempati tempat yang strategis dengan
posisinya sebagai pusat pelabuhan dagang dan jalur transportasi dengan
negara-negara lain. Letak strategis pusat pemerintahan Kesultanan Aceh
Darussalam ditambah lagi oleh kekayaan sumber daya alamnya telah pula
menghantarkannya menjadi negara kota yang makmur dan sejahtera.
Dilihat dari aspek perkembangan agama islam, peran Aceh tidak
dapat diabaikan. Seiring dengan kemajuan dan kemakmurannya dalam bidang
ekonomi, politik dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaan serta
penyebaran dakwah islampun semakn meningkat. Kemajuan kerajaan Aceh dalam
bidang agama ditandai dengan munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam.
Aceh ketika itu mencari center ilmu pengetahuan di Asia Tenggara yang
melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulam-ulamaterkenal seperti
Hamzah Fansuri (w. 1660), syamsudin al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniri
(w.1657), dan Abdul Rauf al-Sinkili (w. 1660). Sekitar abad ke 17/18 M, keempat
tokoh telah mewarnai sejarah pemikiran keagamaan kesultanan Aceh. Dua nama
terakhir, al-Raniri dan al-Sinkili, adalah dua dari tiga rantai utama dari
jaringan ulama diwilayah Melayu Indonesia Timur Tengah yang mempunyai peranan
penting dalam menghadirkan pembaharuan-pembaharuan keagamaan, dan dalam pembawa
tradisi besar Islam ke wilayah Melayu Indonesia dengan menghalangi kecendrungan
kuat pengaruh tradisi lokal kedalam Islam.
Selain itu, Aceh berperan pula sebagai pintu gerbang ketanah suci
bagi para penziarah dan pelajar jawi yang menuju ke Mekkah, Madinah dan
pusat-pusat pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari kesultanan
Turki, sehingga tak heran bila Aceh dijuluki dengan nama ‘’Serambi Mekkah’’
peran ini membuat Aceh berhubungan erat dengan kota-kota pelabuhan Muslim yang
lain di Nusantara. Singkatnya kehidupan intelektual keagamaan berkembang sangat
baik dikesultanan ini sehingga menjadikannya berfungsi sebagai center
intelektualisme Islam abad ke- 17, sebagai pusat berkembangnya ajaran dan
pemikiran Islam di Asia Tenggara.
Di masa Sultan Iskandar Tsani, para ulama besar mulai meletakkan
dasar corak pengetahuan sosial. Diantaranya adalah kemitraan antara pemegang
otoritas politik dan pemegang otoritas spritual di seluruh tingkat
pemerintahan. Seorang sultan bukan saja harus didampingi oleh seorang kadhi
Malikul Adil , seorang pejabat negara dan persoalan hukum, dan seorang
ulama besar, sebagai penasehat rohani. Namun demikian dengan wewenang antara
kedua wilayah ini tidaklah sama sekali terpisah. Sering kali sebelum Sultan
atau uluebalang membuat putusan, ia harus terlebih dahulu bermusyawarah
dengan para ulama dan orang-orang tua. Dengan demikian dapat dipertimbangkan
apakah suatu putusan sah atau tidak menuntut pandangan agama, sehingga pengaruh
islam sangat besar pada adat istiadat Aceh.
Dalam pengaruh seperti ini, semakin terlihat kedudukan stretegis
dan peranan penting yang dimainkan ulama dalam mewarnai pemerintahan ke arah
yang lebih Islam. Di zaman ini terutama, ulama-ulama besar Aceh menghasilkan
karya-karya besar yang modial yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran Islam di
seluruh Nusantara. Saat itu terdapat jumlah karya-karya keagamaan yang mencolok
menuntut standar Melayu yang dhasilkan di bawah pengawasannya, baik yang
orisional atau berbentuk terjemahan.
c.
Empat
Ulama Besar Aceh
Seperti diuraikan di atas, Aceh dalam sejarahnya pernah menjad center
ilmu pengetahuan di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para
intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri (w. 1600),
Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniri (w. 1657), dan Abdul Rauf
al-Sankili (w. 1660).
Hamzah Fansuri adalah seorang sufi terkemuka sastrawan besar,
pengembara dan ahli agama. Dia di lahiri di tanah Fansuri atau barus, dan
diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 117m. Hamzah Fansuri mempelajari
tasawuf setelah menjadi angota tarekat qodiriyah yang didirikan Syekh Abdul
Qhodir Jailani dan di dalam tarekat ini pula ia dibai’at. Setelah mengembara
keberbagai pusat ilmu seperti Baghdad, Mekkah, Madinah, dan Yerussalem, dia
kembali ke tanah air serta mengembangkan nya ajaran tasawuf sendiri. Tasawuf
yang dikembangkannya banyakk yang dipengaruhi pemikiran Wujudiyah Ibnu Arabi.
Ada tiga risalah tasawuf karangan al-fansuri yang dijumpai yaitu syarab
al-‘Asyiqin , (minuman orang birahi), Asrar al-Arifin(rahasia alhli
Maa’rifat) dan al-muntahi. Selain itu juga dijumpai tidak kurang dari 32
ikatan-ikatan atau untaiyan syair yang diubahnya. Syair-syairnya diangap
sebagai syair melayu pertama yang ditulis dalam bahasa melayu. Begitu pula
karyanya Syarb al-Asyiqin, oleh al-Attas dianggap sebagai risalah
keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa melayu baru.
Hamzah fansuri mempunyai kedudukan yang penting dalam
pemerintahan. Kedudukan mereka( Syamsudin dan Hamzah) syekh al islam dikesultanan Aceh, memungkinkan mereka untuk
menguasai kehidupan religio-intelektual kaum muslim kesultanan aceh dan
menyebar luaskan paham wujudiyah ini
sebelum kedatangan Ar-raniri. Mengingat karya-karyanya dia di anggap sebagai
salah seorang tokoh sufi awal paling penting diwilayah melayu-indonesia dan
juga sebagai seorang perintis terkemuka tradisi kesusuteraan melayu.
Sedangkan syasudin memegang jabatan sebagai penasehat agama
dikesultanan Aceh, Syamsudin termasuk dalam aliran pemikiran keagaman yang sama
dengan Hamzah, yaitu sama-sam pendukung paham wahdat al-wujud.
Periode sebelum kedatangan Ar-raniri merupakan masa dimana
islam mistik, terutama dari aliran wujudiyah berjaya, bukan hanya di
Aceh tetapi banyak dibagian di Nusantara. Setelah kedatangan Nuruddin
ar-raniri, muncul gerakan-gerakan pembahasan tasawuf yang hasilnya adalah
munculnya suatu bentuk tasawuf yang di istilahkan dengan neo-sufisme, yaitu
suatu bentuk tasawuf yang merekonsiliasi(memadukan) dan mengharmoniskan anatara
syariat dan tasawuf.
Dengan posisinya sebagai syekh al-islam dikesultanan Aceh, Ar-Raniri
berhasil mendapat dukungan politik dan Iskandar Tasani dan ajarannya berhasil
mendominasi wilayah kesultanan melalui metode debat yang selalu ia menangkan
atas toko-tokoh pengikut dua sufi sebelumnya. Menurutnya Islam diwilayah ini
telah dikacaukan oleh kesalah paham atas doktrin sufi.
Ar-Raniri hidup selam tujuh tahun di Aceh sebagai seorang Alim,
multi dan penulis produktif. Ar-Raniri mencurahkan banyak tenaganya untuk
menentang paham wujudiyah. Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan
fatwa yang mengarah pada semacam pemburuan terhadap orang-orang yang sesat,
membunuh orang-orang byang melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktek sesat
mereka dan membakar hingga menjadi abu seluruh buku-buku tokoh sufi sebelumnya.
Ulam besar Aceh lainnya adalah Abdurrauf al-sinkili. dia hidup
dalam 6 priode kesultanan Aceh: Sultan Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Sultana
Safi’at al-din, Sultana Naqiyat al-din, Sultan Zakiyat Al-din dan Sultana
Kamala Al-din. Posisi al-sinkili sebagai seorang Alim dam mufti dari sebuah
kesultanan yang besar seperti, Aceh yang pernah belajar di Mekkah dan Madinah,
mempunyai beberapa dengan ulama dari berbagai Negara sertya menjadi Halifah
Tareqat Syattariyah, telah membuatnya bukan hanya mempunyai legitimasi
keagamaan yang otoritatif tetapi juga legitimasi politik yang kuat. Al-sinkili
menafsirkan kembali doktrin wujudiyah secara ortodoks (murni). Menurutnya, bathin
yang dicita-citakan seorang Salif tidak akan tercapai bila meninggalkan
ketentuan-ketentuan syariah seperti kewajiban Shalat, Haji, dan Lain-lain.
Al-singkili jelas punya pengaruh yang sangat luas melampaui negeri
asalnya (Aceh). Hal ini karena Aceh menjadi tempat pemukiman sementara bagi
para Jama’ah Haji maupun Pelajar yang belajar haramayn ketika mereka
menuju atau kembali dari Arab.
Pengaruh Al-singkili diperluas oleh murid-muridnya seperti Syekh
Abd Al-Muhyi yang berhasil menyebarkan semangat baru islam ini ke daerah
asalnya jawa barat, kemudian merembes kejawa Tengah dan ke Jawa Timur. Murid
beliau lainnya adalah Burhanudin dari minang kabau bersama 4 orang temannya.
Setelah ditunjuk sebagai khalifah tarekat sattariyah oleh Al-Singkili,
Burhanudin yang juga terkenal sebagai tuanku Ulakan segera mendirikan suraunya.
Yang terbukti yang menjadi salah satu sarana yang paling efektif dalam proses tranmisi
gagasan-gagsan baru islam itu. Selama masa hidupnnya suraunya itu dianggap
sebagai pemegang otoritas tunggal dalam masalah-masalah keagamaan di
minangkabau. Dia sendiri di anggap sebagai pemimpin masyarakat muslim dikala
itu.
Al-Saingkili juga orang pertama yang menuliss Tafsir lengkap
Al-Qur’an dalam bahasa melayu dengan judul tarjuman al-Mustafid. Dia
jugalah orang yang pertama diwilayah melayu Indonesia yang menulis Fiqh
Muamalah melalui karyanya mirat al-Thullab dan miratut Thullab yang
tidak hanya membhas tentang Ibada melaikan mengemukakan Aspek muamalat,
termasuk kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum muslim.
Bila dilihat pada misi dan pemikiran Ar-Raniri dan Al-Singkili
keduanya mempunyai misi dan pemikiran yang sama yaitu sama-sama menekankan
kemurnian ajaran islam sesuai dengan ajaran dasarnya. Namun penempuh pendekatan
yang berbeda. A;-Singkili lebih bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktek
sufisme heterodoks yang pantheistic. Baginya tidklah cepat misalnya
mengkafirkan sesama muslim sebagaimanayang dilakukan ar-Raniri terhadap
pengikut Hamzah maupun Syamsudin. Disamping itu,dia lebih cenderung persuasi
dan ia logis sehingga lebih dapat diterima oleh masyarakatnya oleh rasional dan
berdampak positif terhadap penyebaran dan kesinambungan misi gagasan
Neosufisme. Sebaliknya Ar-raniri bersikap radikal dan menggunakan pendekatan
politis dengan berpegang pada patronase (perlindungan) penguasa, Iskandar Tsani
sehingga ia pun diterima secara Emosional.
d.
Masa
Kemunduran Kesultanan Aceh Darussalam
Aceh mulai mengalami kemunduran setelah sultan Iskandar Tsani
berpulang ke rahmatullah. Sebagaimana penggantinya, beberapa orang
Sultanah (pemimpin wanita) menduduki singgah Sanah pada tahun 1641-1699. Mereka
adalah Sultanah Safi’at Al-din, Sultana nakiyat aldin, Sultanah zakiyat
aldindan sultanah kamalah aldin. Kepemimpinan para sultanah iini mendapat
perlawanan dari kaum ulama wujudiyah yang berujung dengan kedatangannya dari Mufti
dari mekkah yang menyatakan keberatannya akan kepemimpinan wanita. Padahal
menurut satu sumber sultanah safi’at al-din adalah seorang wanita yang cakap.
Ia adalah putri Iskandar muda dan menjadi istri sultan iskandar Tsani. Ia
disebut sebagai menguasai enam bahasa, spayol, belanda, aceh, melayu, arab dab
parsia.
Pada masa pemerintahan sulatanah ini, beberapa wilayah taklukan
lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Meski upaya pemulihanyang
dilakukan, namun todak banyak mendapat kemajuan. Menjelang abad le 18
kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam, aaceh tidak lagi
memiliki kepemimpinan yang tangguh, aceh mengalami kemerosotan ekonomi dan
politik, selain itu wacana pemikiran isalam yang sempat berkembang pesat
mengalami kemunduran,
Kemunduran kesultanan Aceh disebabkan oleh faktor internal juga
sangat dipengarihi oleh faktor Eksternal sejak awal abad 16, kesultana
aceh kekuasaan yang berkepanjangan,
pertama dengan Portugis lalu sejak abad ke 18 dengan Inggris dan Belanda. Pada
akhir abad ke 18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya dikedah dan pulau pinang
disemananjung pada Inggris. Melalui Anglo-Dutch Traty pada tahun 1824,
inggris dan belanda menetapkan dimarkasi bagi wilayah pengaruh mereka
dikepulauan melayu. Inggris mengklaim bahwa Aceh adalah wilayah jajahan mereka,
meskipun hal itu tidak benar. Pada tahun 1871, Inggris membiarkan Belanda untuk
menjajah Aceh. Aceh kemudian terlibat perang berkepanjangan namun Aceh tidak
pernah dapat ditaklukkan secara total oleh belanda. Sehingga saat Indonesia
tahun 1945, Aceh masih menjadi sebuah Negar yang berdaulat.
BAB III
PENUTUP
A.
Penutup
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan, Perkembangan Islam
pada Masa Kesultanan di Asia Tenggara berjalan dengan baik dan tidak ada
kekacauan ataupun keributan. Perkembangan Islam disini berkembang secara
bertahap-tahap. Dimana Kesultanan disini yang terkenal sebagai Institusi
Politik Islam. Yang pertama menerima Islam yaitu Aceh Darussalam, orang Arab
berdagang ditempat tersebut dan memiliki Misi untuk mengIslamkan penduduk
setempat, dan cara lain yaitu, dengan mengajarkan lembaga Pendidikan Islam dan
yang berhubungan dengan Pegetahuan seperti, Ilmu Kalam, Ilmu Agama,Filsafat,
dll.
Dan selanjutnya perkembangan Islam dikesultanan Kerajaan Malaka
sangat cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan
perdagangan dari Kerajaan Samudera Pasai yang tidak saing. Aceh merupakan
negeri yang kaya dan makmur Aceh dikenal memiliki sumber daya alam yang kaya,
yang juga dikenal sebagi penghasil kapur barus dan menyan, juga dikenal sebagai
penghasil Timah dan rempah-rempah seperti, lada dan kopi. Aceh mulai mengalami
kemunduran setelah sultan Iskandar Tsani dia meninggal dunia, faktor tersebut
adalah faktor eksternal dan internal. . Pada akhir abad ke 18, Aceh terpaksa
menyerahkan wilayahnya dikedah dan pulau pinang disemananjung pada Inggris. Dan
akhirnya Inggris dan belanda mengaku bahwa Aceh Darussalam adalah wilayah
penjajahan mereka.
B.
Saran
Penulis menyadari tentunya Makalahini jauh dari sempurna, karena
kesempurnaan hanya milik Allah swt. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritikannyayang bersifat membangun dari dosen dan para pembaca agar dapat
kedepannya menjadi lebih baik lagi. Pemakalah juga mengharapkan bimbingan dan
pengajaran yang lebih mendalam dari dosen pembimbing dalam mata kuliah study
Islam Asia Tenggara ini.
Mudah-mudahan
makalah ini bemanfaat, bisa menambah ilmu dan wawasan kita.