SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Rabu, 28 Maret 2012




BAB I
PENDAHULUAN.


A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Islam adalah sebuah agama dan jalan hidup yang di dasarkan pada perintah Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang Islam untuk berpegang hidup pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, maka ia harus mengamati pada dua hal yang menjadi batasan yakni apa yang benar (halal) dan apa yang salah (haram). Hal ini untuk menyoroti kebutuhan dan kepentingan kita mengetahui hukum syari’ah.
Hukum syari’at tentang pidana adalah ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan kejahatan terhadap badan, jiwa, kehormatan, akal dan sebagainya. Perbuatan pidana dilihat dari pola penjatuhan sanksi-saksi, atau hukumnya, diklasifikasikan menjadi tiga kategori tentang perbuatan tersebut diatas yaitu: Hudud, Jinayah, dan ta’zir.
Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam. Maka jelas sumber-sumber pidana Islam diambil dari sumber-sumber hukum Islam itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH.
Dari penjelasan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah antar lain:
- Apa saja sumber hukum pidana Islam?





BAB II
PEMBAHASAN

1. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM.
Beberapa sumber hukum Islam adalah: al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Masih ada hukum sumber-sumber hukum yang lain tapi masih diperselisihkan mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut adalah istihsan, istishab mursalah, ‘urf, madzhab sahabat, dan syariat sebelum Islam.
Kemurnian hukum islam disamping terletak dalam al-Qur’an juga terletak as-sunnah, ijma’ (mufakat atau kesepakatan umum) dan qias (persamaan) yang mana masing-masing itu adalah sumber hukun islam, seperti yang telah disebutkan diatas. Dan ternyata sumber-sumber tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Sumber-sumber pokok Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah, sedang ijma’ dan qias dalam faktanya hanyalah merupakan prinsip-prinsip dan tambahan. Dan keempat sumber tersebut pada umumnya dipergunakan sebagai sumber yang murni atau asli.
Masing-masing keempat sumber tersebut tidak membentuk pembagian-pembagian yang tidak dapat dibantah sebagai pandangan , dalam artian mereka saling berhubungan dan membawa spirit yang sama dari wahyu. Sebagaimana terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat: 39
وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا(39)

Artinya: Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.

II. SEJARAH.
Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran Islam hidup semenjak kurun waktu yang lama, sehingga ditutupnya pintu ijtihad pada abad 2 hijriyah, sebaimana gambaran yang diabstraksikan oleh Nasaruddin bin Yuman, R.A, “ pada masa itu malam menjadi siang”.
Adanya seruan untuk penerapan syariat Islam terkait dengan pidana Islam untuk mendalami syariat Islam. Adanya setiap cabang konstitusi pidana merupakan bagian dari ditetapkannya syariat Islam, baik sedikit maupun banyak. Kajian hukum pidana Islam yang diadakan diberbagai universitas di Mesir dimotivasi oleh signifikasi Hukum pidana Islam. Salah satu contoh dari kaum intelektual yang mengkaji hukum pidana Islam adalah Abdul Khodir Audah, dalam bukunya yang berjudul: “Hukum pidana Islam yang sudah ditetapkan dalam undang-undang”.
Antara hukum pidana Islam dan hukum pemerintahan kedua sangat mungkin yang disatukan. Sebagaimana yang telah terjadi pada 4 abad terakhir. Keberadaan seruan perjuangan untuk menerapkan syariat Islam, khususnya pada masalah pidana Islam yang senantiasa ada pada setiap masa. Hanya saja tak selamanya kuat sebagaimana yang terjadi pada kurun waktu 7 tahun terakhir. Tampak jelas bahwa penerapan syari’at Islam terkait dengan dimensi pidana Islam yang masih menyisahkan ruang kosong untuk tetap diusahakan untuk diterapkan pada masa-masa yang akan datang.

III. SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM
Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam maka apabila hukum Islam bersumber dari al-Qur’an, hadits, Ijmak, Qiyas dan beberapa sumber yang diperselisikan, seperti: Ikhtisan, Istimbat, Marsihah, Urf, mazhab sahabat dan syariat sebelum Islam, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut.
Tetapi pada umumnya bagi hukum pidana Islam formil, maka kesemua sumber diatas bisa dipakai, sedangkan untuk hukum materiel, hanya 3 sumber sudah disepakati, sedangkan Qias masih diperselisihkan.
Dan di sini akan dibahas 3 sumber yang telah disepakati:
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kumpulan beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad dan telah berlaku sejak abad ke 4 sebelum masehi. Dan keduanya itu dalam bentuk dan isi yang tidak bisa ditolak dari apa yang telah diturunkan dalam al-Qur’an. Surat An-Nisa’: 105
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا(105)
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Terdapat argumentasi yang kuat bahwa keseluruhan al-Qur’an (ayat al-Qur’an) adalah mutasyabih, dan al-Qur’an adalah nyata (haq) sebagaimana yang dijelaskan dalam surat
Q.S. Yunus: 36
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ(36)
Artinya: Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Q.S. Yunus: 37

وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْءَانُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ(37)
Artinya: Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.
Q.S. Yunus: 38

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(38)
Artinya: Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."
Q.S. Yunus: 39
بَلْ كَذَّبُوا بِمَا لَمْ يُحِيطُوا بِعِلْمِهِ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيلُهُ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ(39)
Artinya: Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.
Jika kita mencermati kandungan al-Qur’an maka kita melihat bahwa ia terdiri dari 2 tema pokok yaitu:
1. Bagian yang tetap (al-Jus al-Stabit)
Bagian ini berupa undang-undang antara tata aturan universitas yang mengatur segala ectitensi sejak penciptaan alam semesta. Di dalamnya terdapat undang-undang perkembangan (hukum evolusi), hukum objektif kematian dan hukum perubahan bentuk (taqhyir shairuroh) hingga datangnya hari kiamat dari di tiupnya sangkakala dari kebangkitan, surga dan neraka . Dan dalam hal ini tidak akan pernah bisa berubah.
2. Bagian al-Qur’an yang berubah
Q.S Yasin 12
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ(12)
Artinya: Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Seperti contoh hukum universal dalam al-Lauh al-Mahfus menyatakan bahwa kematian adalah ri’il, tetapi peristiwa partikular di alam memungkinkan terjadinya fenomena perpanjangan dan pemendekan usia, tetapi bukan penghapusan kematian.
Seperti sabda nabi: ketetapan Allah berupa Qadha’ tidak dapat ditolak kecuali dengan do’a
Sumber-sumber Hukum pidana dalam al-Qur’an
1). Q.S. Al-Isra’: 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا(32)
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
Ayat di atas menjelaskan tentang terhadap perbuatan zina dam zina itu sangat dimurkai oleh Allah.
2). Q.S. An-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(4)
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Ayat di atas menjelaskan tentang larangan Qadahf (menuduh berzina).
3). Q.S. Al-Baqarah: 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ(219)
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa’atnya bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.
Ayat di atas menjelaskan tentang larangan minuman keras.
4). Q.S. Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(38)

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Ayat di atas menjelaskan tentang larangan pencuri.
5). Q.S Al-Baqarah: 217
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(217)
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraca, mereka kekal di dalamnya”.
Ayat diatas menjelaskan tentang larangan untuk riddah (murtad).
B. Sunnah / Hadits.
Al-sunnah/al-Hadits merupakan segala sesuatu yang datang dari nabi. Selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syarak.
Sejauh hipotesis kita memperlihatkan bahwa ajaran dari sunnah adalah mempersatukan kekuatan dalam komunitas yang lebih dahulu mendahului ijma’ meskipun istilah ijma’ secara berulang-ulang di pakai dalam kepustakaan Islam yang lebih utama pada abad ke 1 dan ke 2, yang tidak bersifat teknis dan pengertiannya bersifat semi teknis ini tidak membawa pada kekuatan yang sama dari hak untuk bertindak sebagai istilah pemakaian sunnah.
Hal ini dikarenakan ada 2 alasan.
1. Sunnah adalah konsep yang disusun secara mudah dalam masyarakat Arab sebelum Islam.
2. Kembali kepada al-Qur’an yang telah dipakai sebagai sandaran.
Al-Hadits/As-Sunnah ditetapkan sebagai sumber hukum Islam sebagaimana hadits nabi.
تركت فيكم أسرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya apabila berpegang dengan ke dua hal tersebut yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (HR. Malik).
Q.S. al-Hasyr: 7
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(7)
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
Q.S. An-Nur: 56
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(56)
Artinya: Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan ta`atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.
Hukum-hukum Pidana dalam Hadits.
1). Hadits tentang larangan berzina. Hadits nabi saw
وعن أنس بن ملكِ رَضِيَ اللهَُ عَنْهُ قال: أوَّلُ لعانٍ كانَ فِي الإِسلاَمِ أنَّ شريكَ بنَ سحماءَ قذَفَهُ هلالُ بْنُ أميةً بأمرتهِ, فقاَلَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهَُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: اْلبَيَّنَةَ وإلاَّ فحدَّ فِي ظَهرِكَ (أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات)
Dari anas ibn Malik r.a ia berkata: Li’an pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa syarik ibn Sahman dituduh oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal: Ajukalah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).
2). Hadits tentang larangan Qadzaf. Hadits Rasulullah saw:
غَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَُ عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهَُ عَلَبْهِ وَسَلَّمَ قَلَ اجْتَنِبُوا السَّبعَ الْمُوبِقاَتِ قَلُوا يَا رَسُولَ اللهَُ وَماَهُنَّ قَلَ السِّركُ بِاللهَِّ وَالسِّحرُ وَقَتْلُ النَّفسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَُّ إلاَّباِلْحَقَّ وَأَكْلُ الرباَ وَأكلُ ماَلِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَناَتِ الْمُؤْمِناَتِ الْغَفِلاَت (رواه البخارى)
“Dari abu Huraira dari nabi saw, beliau bersabda: Jauhilah 7 macam perbuatan yang merusak”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah apakah tujuh perkara itu? Nabi menjawab: menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari pada waktu pertempuran dan menuduh wanita-wanita yang baik, beriman dan lengah (berbuat zina)”. (H.R. Bukhari).
3). Hadits tentang khamar:
وَعَنْ ابْنِ عمرَ رضيَى الله عنهماَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهَُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَلَ كُلُّ مُسْكِرِ خَمْرُ وَكُلُ خَمْرٍ حَرَامُ (رواه مسلم)
“Dari ibnu umar r.a bahwa nabi saw bersabda: “setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram”. (H.R. Muslim).
4). Hadits Muawiayah
وَعَنْ معاَويةَ عنِ النّبيِّ صلَّى الله عليهِ وسلّم أَنَهُ قلَ فِى شاَبِ الْخَمْرِ: إذا شربَ فاجلجُوْهُ, ثَّم إذا شربَ فاَجلدهُ, ثَّم إذَا شَرِبَ الثّالثّةَ فاجلدُوْهُ, ثّم إذَ شَرِبَ الرَّابعةَ فاضْرِبُوا عنُقَهُ (أخرجه أحمد واللفظ له والآربعة)
“Dari muawiyah dari nabi saw, bahwa beliau bersabda tentang (hukuman) orang yang minum khamar: “Apabila ia minum maka deralah dia, kemudian apabila dia meminum lagi maka deralah ia. Apabila ia minum untuk ketiga kalinya deralah ia. Kemudian apabila ia minum lagi untuk keempat kalinya maka potonglah lehernya (bunuh ia)”. (H.R. Iman Ahmad dan Imam Empat).
5). Hadits Tentang pencurian:
لعنَاللهُ السَّرقَ يسرِقُ الْبَيضَةَ فتقطَعُ يدهُ ويسْرِقَ الْحبلَ فتقطَعُ يدهُ
“Allah menguntuk pencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga dipotong tangannya”.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أتاَكُم وَأَمْرُكُم جَمِيعَّ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْيُفَرِّقَ جَماَعَتَكُمْ فَاقُتُلُوهُ
“Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda: “Barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kamu telah sepakat kepada seorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian maka bunuhlah dia.

C. Ijma’
a. Menurut bahasa Ijma’ mempunyai 2 arti yaitu
1. Kesepakatan, seperti; perkataan: “Jama al qaumu ‘alaa kadzaa idzaa itafaquudlaini”. Yang artinya suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka sudah sepakat kepadanya.
2. Kebulatan Tekad atau niat, seperti firman Allah
فَاَجْمِعُوا اَمْرَكُمْ وَشُرَكاَء كُم.........
Artinya: …. Karena itu bulatkanlah keputusan dari (kumpulkanlah) sekutu-sekutunya….”. (Yunus: 71)
Sabda nabi:
لاَصِياَمَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِياَمَ مِنَ الليْلِ
Artinya: Tidak syah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya
b. Menurut Ahli Ushul Ijma’ adalah
اِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِبْنَ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى عَصْرٍ مِنَ اْلعُصُوْرِ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُولُ عَلَى حُكْمٍ مِنَ اْلاَحْكاَمِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ
Artinya: Kesepatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah akan suatu hukum syariat yang amali.
c. Menurut Syara’: Kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin di sesuaikan masa setelah wafat nabi saw, tentang suatu hukum syara’ yang amali
Syarat-syarat terwujudnya Ijma’ (menurut jumhur ulama)
a. Bersepakatan para mujtahid, kesepakatan bukan mujtahid (orang awam) tidak diakui sebagai ijma’
b. Bahwa para mujtahid harus sepakat, tidak seorang pun berpendapat lain.
Karena itu tidak di akui ijma’ dengan kesepakatan:
- Suara terbanyak
- Kesepakatan tidak diakui ijma’ dengan kesepakatan golongan salaf
- Kesepakatan ulama’ salaf kota Madinah saja
- Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari uda kota basrah dan kufah, atau salah satunya saja.
- Kesepakatan Ahli Bait nabi saja.
- Kesepakatan khulafaurrasyidin saja.
- Kesepakatan 2 orang Syekh: Abu Bakar dan Umar, karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’y (diyakini) keabsahannya dan kebenarannya.
c. Bahwa kesepakatan itu; diantara mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas
d. Kesepakatan mujtahid itu terjadi setelah nabi wafat
e. Bahwa kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid memulai penyampian pendapatnya dengan jelas pada suatu waktu.
f. Bahwa kesepakatan itu dalam pendapat yang bulat yang sempurna dalam pleno lengkap.

KESIMPULAN
- Hukum pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam, jadi sumber-sumber hukumnya di ambil dari al-Qur’an, as-Sunnah/al-Hadits, Ijma’ da Qiyas. Tapi dalam hukum material Qias masih di perseslisihkan, bahkan ada satu pendapat bahwa Qias tidak di masukkan dalam sumber-sumber hukum Islam.
- Isi dalam kandungan al-Qur’an terdiri dari 2 tema pokok:
a. Bagian yang tetap seperti: datangya kematian, datangnya hari kiamat, ditiupnya sangkakala, kebangkitan surga dan neraka.
b. Bagian yang bisa berubah seperti: terjadinya fenomena pemanjangan dan pemendekan usia, tetapi bukan penghapusan kematian.
- Al-Sunnah/al-Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari nabi saw selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
- Ijma’ merupakan kesepakatan/kebulatan para Mujtahid Islam dalam suatu masa. Setelah wafatnya nabi saw tentang suatu hukum syara’ yang amali.

DAFTAR PUSTAKA

Abu La’la, S. Maududi, The Islamic Law And Constitution, Pakistan Publication, 1977
Ahmad, Nisar, The Fundamental of Qur’an And Hadits Teachings, New Delhi: Kitab Bhavan, 1994
Al-awwa, Mohammad Salim, Fi Usuli Nidhom Jina’i Islam, Dar al-Kutub, 1983.
I Dol, Abdur Rahman, dan Sari’ah, The Islamic Law, As-Noor Deen, Kualalumpur Malaysia, 1989.
Khallaf, Syaih Abdul Wahab, Ulumul Ushulul al-Fiqiyah, Mesir: Darul al-Azhar, 1956.
Mubarok, M. Zaki, Majalah al-Qunun, Vol 4, Surabaya: Fak Syariah IAIN Sunan Ampel, 2002
Tabbaron, Afif A, The Spirit of Islam Dovtrine And Teachings, Beirut Lebanon, dar el-Lim Lilmalayin, 1993.
Hasan, Ahmad, The Doctrine of Ijma’ in Islam, New Delhi, Kitab Bhavan, 1992
Shahrur, Muhammad. Dr. Ir, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: el Saq Press, 2004
Abdullah, Sulaiman, Dr. H, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Syukur, Syarmin. Dr, Sumber-sumber Hukum Islam, Surabaya: Ikhlas, 1993
Al-Kahlani, Muhammad Ibnu Isma’il, Subulus as salam, Jus 3, Mesir: Syarikh wa Mathba’ah, 1960
Shodiq, Abdul Rahim, Jarimah Wa Uqubah,
READ MORE - SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Pengertian dan pembagian pembiayaan

OLEH :
AINURIZA
UMU KHAIRA
NITA ASIANA



                                                

JURUSAN EKONOMI ISLAM
 FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
  ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2012






BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan hari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer,skunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karna itu, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang di tawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga lembaga keuangan non bank.
Dengan adanya jasa pembiayaan ini, akan mempermudah bagi nasabah yang membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya. Pembiayaan dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai yang disepakati pihak bank dan nasabah. Pembiayaan dapat diberikan kepada seluruh sektor atau subsektor ekonomi yang dinilai prospek tidak bertentangan dengan syariat islam dan tidak dilarang oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta yang dinyatakan jenuh oleh Bank Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan pembagian pembiayaan
Pembiyaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaanya, pembiyaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
1.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkat usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.      Pembiayaan konsumtif, yaitu penbiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat digunakan menjadi dua hal berikut.
3.      Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah produksi. Maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas mutu hasil produksi. Dan (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
4.      Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan  barang-barang modal (capital goods)



B.     PEMBIAYAAN MODAL KERJA
Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid (cash) piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw material) persedian barang dalam proses (work in process) dan persediaan barang jadi (finished goods).
Bank konvensional memberikan kredit modal kerja tersebut, dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga.
Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang. Melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah. Dimana bank bertindak penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib) skema pembiayan semacam ini disebut dengan mudharaba (trust Financing). Fasilitias ini dapat diberikan untuk jangka waktu teretentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodic dengan misbah yang disepakati. Setelah jatuh tempuh, nasabah bmengembalikan jumlah nada tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
1.      Pembiayaan Likuiditas ( Cash Financing)
Pembiayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidak sesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvesional adalah fasilitas cekurakan (overdraft facilietas) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini, bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Bank syariah dapat menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang disebut compensating balance. Melalui fasilitas ini, nasabah harus membuka rekening giro dan tidak memberikan bonus atas gori tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasbah dapat menarik dana melenihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang sepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apapun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2.      Pembiayan piutang (receivable financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang menjual barangnya dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kafasitas model kerja yang dimilikimya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa hal-hal berikut.
a.      Pembiayaan piutang (receivable financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinajam itu, bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya, nasabah berkewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Akan tetapi, bila bank merasa perluh, dengan menggunakan cessie tersebut, bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank.
b.      Anjak piutang (factoring)

         Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah. Nasabah mengeluarkan draf  (wesel tagih) yang di akses oleh pihak yang berhutang atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berhutang. Kemudian di- endors oleh nasabah. Draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangkah waktu tertera pada draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempoh draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.
Bagi bank syariah, untuk kasus pembiayaan piutang seperti tersebut diatas hanya dapat dilakukan dalam bentuk al-qardh dimana bank tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambilalihan piutang. Yaitu yang disebut hiwalah. Akan tetapi, untuk fasilitas inipun bank tidak dibenarkna untuk meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya administrasi dan biaya penagihan. Dengan demikian, bank syariah meminjamkna uang (qardh) sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih  atau promes) yang diserahkan kepada bank tanpa potongan. Hal ini adalah bila ternyata pada saat jatuh tempoh, hasil tagihan ini digunakan untuk melunasi hutang nasabah kepada bank. Akan tetapi, bila ternyata piutang tersebut tidak ditagih, nasabah harus membayar kembali hutangnya itu kepada bank. Selain itu, sebagian ulama memberikan jalan keluar berupa pembelian surat hutang (bai’ad-dayn), tetapi sebagian ulama melarangnya.
3.      Pembiayaan persediaan (inventory financing)
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang digunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing) pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainnya, yaittu memberikan pinjaman dengan bunga.
Bank syariah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli (al-bai) dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, menjual kepada nasabah pembeli dengan membayar tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Skema jual beli yang dipergunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.      Bai’ al-murabahah

Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri atas biaya pengadaan biaya baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan memjadi barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Bila jadi barang itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
b.       Bai’ al- Istishna’
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untum proses produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembiayaan dimuka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain. Setelah barang selesai, produk tersebut statusnya menjadi milik bank, dan segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan jualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel atau istishna’ wal-murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).

c.       Bai’ as-Salam
untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti seperti produksi pertanian, bank dapat memberikan fasilitas bai’ as-salam. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus dan nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan, bank dapat mencari pembeli atas produk tersebut kombinasi ini disebut salam paralel.
Bila produksi itu dilakukan secara terus-menerus dan perputaran modal kerja tersebut telah sedemikian secepatnya sehingga nasabah memerlukan pembiayaan modal kerja secara evergreen, skema pembiayaan yang paling tepat adalah al-mudharabah.
4. Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan
a. Perdagangan Umum
perdagangan umum adalah perdagangan yang dilakukan dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini, skema yang paling tepat adalah skema mudharabah.
b. Pedagangan Berdasarkan Pesanan
perdagangan ini biasanya pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya.
Berdasarkan pesanan itu, penjual lalu mengumpulkan barang-barang yang diminta dengan cara membeli atau memesan, baik dari produsen maupun dari pedagang lainnya. Setelah terkumpul, barulah dikirim kepada pembeli sesuai pesanan. Apabila barang telah dikirim, penjual juga menghadapi kemungkinan risiko tidak dibayarnya barang yang dikirimnya itu.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kedua belah pihak, bank konvensional telah memberikan jalan keluarnya, yaitu fasilitas letter of credit (L/C). Bank Syariah telah dapat mengadopsi mekanisme L/C itu dengan menggunakan skema al-wakalah, al-musyarakah, al-mudharabah, ataupun al-murabahah. Dalam hal al-wakalah, bank syariah hanya memperoleh pemdapatan berupa fee atas jasa yang diberikannya.
C.  PEMBIAYAAN INVESTASI
Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru.
Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah:
1.      Untuk pengadaan barang-barang modal;
2.      Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3.      Berjangka waktu menengah dan panjang
Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu, barulah disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan.
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syariah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syariah adalah al-ijarah al-muntahia bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan , surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.
D.  PEMBIAYAAN KONSUMTIF
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder.
Bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Adapun  untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.
Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini.
1.      Al-bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.
2.      Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.
3.      Al-musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, di mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
4.      Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.










BAB III
KESIMPULAN
Dari urain diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank selain fungsi penghimpun dana dari masyarakat. Pembiayaan didapatkan melalui dua jenis bank yaitu bank konvensional dan bank syariah. Namun, keduanya mempunyai perbedaan dalam pembiayaan (pemberian pinjaman dana) kepada nasabahnya, yaitu:
1.      Bank konvensional memberikan pinjaman dana kepada nasabah dengan imbalan berupa bunga. Sedangkan bank syariah bertindak sebagai penyandang dana dan nasabah sebagai pengusaha dengan berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
2.      Bank konvensional melakukan investasi yang halal dan haram. Sedangkan bank syariah melakukan investasi yang halal saja.
3.      Pada bank konvensional, hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur debitur. Sedangkan pada bank syariah, hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan (partnership).
4.      Pada bank konvensional penghimpun dana dan penyaluran dana tidak terdapat dewan sejenis. Sedangkan pada bank syariah, penghimpun dana dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah (DPS).




BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Syafi’I Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Karim, Adiwarman. 2006. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Grafindo Persada.

   
READ MORE - Pengertian dan pembagian pembiayaan


Pengikut

Costomer Service

Tayangan Laman

Translete

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Auto Ping

Ping your blog, website, or RSS feed for Free Ping your blog, website, or RSS feed for Free