Pengertian dan pembagian pembiayaan

Rabu, 28 Maret 2012

OLEH :
AINURIZA
UMU KHAIRA
NITA ASIANA



                                                

JURUSAN EKONOMI ISLAM
 FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
  ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2012






BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan hari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer,skunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karna itu, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang di tawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga lembaga keuangan non bank.
Dengan adanya jasa pembiayaan ini, akan mempermudah bagi nasabah yang membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya. Pembiayaan dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai yang disepakati pihak bank dan nasabah. Pembiayaan dapat diberikan kepada seluruh sektor atau subsektor ekonomi yang dinilai prospek tidak bertentangan dengan syariat islam dan tidak dilarang oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta yang dinyatakan jenuh oleh Bank Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan pembagian pembiayaan
Pembiyaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaanya, pembiyaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
1.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkat usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.      Pembiayaan konsumtif, yaitu penbiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat digunakan menjadi dua hal berikut.
3.      Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah produksi. Maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas mutu hasil produksi. Dan (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
4.      Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan  barang-barang modal (capital goods)



B.     PEMBIAYAAN MODAL KERJA
Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid (cash) piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw material) persedian barang dalam proses (work in process) dan persediaan barang jadi (finished goods).
Bank konvensional memberikan kredit modal kerja tersebut, dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga.
Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang. Melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah. Dimana bank bertindak penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib) skema pembiayan semacam ini disebut dengan mudharaba (trust Financing). Fasilitias ini dapat diberikan untuk jangka waktu teretentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodic dengan misbah yang disepakati. Setelah jatuh tempuh, nasabah bmengembalikan jumlah nada tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
1.      Pembiayaan Likuiditas ( Cash Financing)
Pembiayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidak sesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvesional adalah fasilitas cekurakan (overdraft facilietas) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini, bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Bank syariah dapat menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang disebut compensating balance. Melalui fasilitas ini, nasabah harus membuka rekening giro dan tidak memberikan bonus atas gori tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasbah dapat menarik dana melenihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang sepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apapun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2.      Pembiayan piutang (receivable financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang menjual barangnya dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kafasitas model kerja yang dimilikimya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa hal-hal berikut.
a.      Pembiayaan piutang (receivable financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinajam itu, bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya, nasabah berkewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Akan tetapi, bila bank merasa perluh, dengan menggunakan cessie tersebut, bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank.
b.      Anjak piutang (factoring)

         Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah. Nasabah mengeluarkan draf  (wesel tagih) yang di akses oleh pihak yang berhutang atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berhutang. Kemudian di- endors oleh nasabah. Draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangkah waktu tertera pada draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempoh draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.
Bagi bank syariah, untuk kasus pembiayaan piutang seperti tersebut diatas hanya dapat dilakukan dalam bentuk al-qardh dimana bank tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambilalihan piutang. Yaitu yang disebut hiwalah. Akan tetapi, untuk fasilitas inipun bank tidak dibenarkna untuk meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya administrasi dan biaya penagihan. Dengan demikian, bank syariah meminjamkna uang (qardh) sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih  atau promes) yang diserahkan kepada bank tanpa potongan. Hal ini adalah bila ternyata pada saat jatuh tempoh, hasil tagihan ini digunakan untuk melunasi hutang nasabah kepada bank. Akan tetapi, bila ternyata piutang tersebut tidak ditagih, nasabah harus membayar kembali hutangnya itu kepada bank. Selain itu, sebagian ulama memberikan jalan keluar berupa pembelian surat hutang (bai’ad-dayn), tetapi sebagian ulama melarangnya.
3.      Pembiayaan persediaan (inventory financing)
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang digunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing) pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainnya, yaittu memberikan pinjaman dengan bunga.
Bank syariah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli (al-bai) dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, menjual kepada nasabah pembeli dengan membayar tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Skema jual beli yang dipergunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.      Bai’ al-murabahah

Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri atas biaya pengadaan biaya baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan memjadi barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Bila jadi barang itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
b.       Bai’ al- Istishna’
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untum proses produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembiayaan dimuka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain. Setelah barang selesai, produk tersebut statusnya menjadi milik bank, dan segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan jualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel atau istishna’ wal-murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).

c.       Bai’ as-Salam
untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti seperti produksi pertanian, bank dapat memberikan fasilitas bai’ as-salam. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus dan nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan, bank dapat mencari pembeli atas produk tersebut kombinasi ini disebut salam paralel.
Bila produksi itu dilakukan secara terus-menerus dan perputaran modal kerja tersebut telah sedemikian secepatnya sehingga nasabah memerlukan pembiayaan modal kerja secara evergreen, skema pembiayaan yang paling tepat adalah al-mudharabah.
4. Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan
a. Perdagangan Umum
perdagangan umum adalah perdagangan yang dilakukan dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini, skema yang paling tepat adalah skema mudharabah.
b. Pedagangan Berdasarkan Pesanan
perdagangan ini biasanya pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya.
Berdasarkan pesanan itu, penjual lalu mengumpulkan barang-barang yang diminta dengan cara membeli atau memesan, baik dari produsen maupun dari pedagang lainnya. Setelah terkumpul, barulah dikirim kepada pembeli sesuai pesanan. Apabila barang telah dikirim, penjual juga menghadapi kemungkinan risiko tidak dibayarnya barang yang dikirimnya itu.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kedua belah pihak, bank konvensional telah memberikan jalan keluarnya, yaitu fasilitas letter of credit (L/C). Bank Syariah telah dapat mengadopsi mekanisme L/C itu dengan menggunakan skema al-wakalah, al-musyarakah, al-mudharabah, ataupun al-murabahah. Dalam hal al-wakalah, bank syariah hanya memperoleh pemdapatan berupa fee atas jasa yang diberikannya.
C.  PEMBIAYAAN INVESTASI
Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru.
Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah:
1.      Untuk pengadaan barang-barang modal;
2.      Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3.      Berjangka waktu menengah dan panjang
Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu, barulah disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan.
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syariah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syariah adalah al-ijarah al-muntahia bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan , surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.
D.  PEMBIAYAAN KONSUMTIF
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder.
Bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Adapun  untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.
Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini.
1.      Al-bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.
2.      Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.
3.      Al-musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, di mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
4.      Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.










BAB III
KESIMPULAN
Dari urain diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank selain fungsi penghimpun dana dari masyarakat. Pembiayaan didapatkan melalui dua jenis bank yaitu bank konvensional dan bank syariah. Namun, keduanya mempunyai perbedaan dalam pembiayaan (pemberian pinjaman dana) kepada nasabahnya, yaitu:
1.      Bank konvensional memberikan pinjaman dana kepada nasabah dengan imbalan berupa bunga. Sedangkan bank syariah bertindak sebagai penyandang dana dan nasabah sebagai pengusaha dengan berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
2.      Bank konvensional melakukan investasi yang halal dan haram. Sedangkan bank syariah melakukan investasi yang halal saja.
3.      Pada bank konvensional, hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur debitur. Sedangkan pada bank syariah, hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan (partnership).
4.      Pada bank konvensional penghimpun dana dan penyaluran dana tidak terdapat dewan sejenis. Sedangkan pada bank syariah, penghimpun dana dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah (DPS).




BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Syafi’I Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Karim, Adiwarman. 2006. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Grafindo Persada.

   

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda!!



Pengikut

Costomer Service

Tayangan Laman

Translete

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Auto Ping

Ping your blog, website, or RSS feed for Free Ping your blog, website, or RSS feed for Free